tintaindependen.com Kabupaten Tangerang – Polemik antara DPRD Kabupaten Tangerang dan pengembang kawasan premium Suvarna Sutera, PT Delta Mega Persada, kian mencuat ke permukaan. Setelah dua tahun terkesan membungkam suara publik terkait rekomendasi revisi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pihak pengembang akhirnya angkat bicara. Namun, alih-alih menghadirkan jawaban substansial, pernyataan yang dilontarkan justru meninggalkan jejak pertanyaan yang kian menebal.
Dalam wawancara khusus yang berlangsung pada Selasa (12/8/2025), di kantor pusat mereka yang berarsitektur megah di kawasan Trisula, Suvarna Sutera, perwakilan pengembang, Wawan, memberikan tanggapan atas sejumlah isu krusial. Sayangnya, alih-alih menunjukkan itikad transparansi dan tanggung jawab, narasi yang dibangun justru menyiratkan nuansa defensif dan terkesan menghindar dari inti masalah.
Saat disinggung mengenai nasib Situ Warung Rebo, salah satu titik krusial dalam rekomendasi DPRD. Wawan menjawab singkat, “Kalau untuk Situ Warung Rebo kita hanya melakukan normalisasi saja.”
Pernyataan tersebut terdengar ringan, namun menyiratkan pemutusan tanggung jawab secara sepihak. Padahal, rekomendasi DPRD tahun 2022 dengan tegas menyebut perlunya pembangunan pintu air sebagai bagian dari mitigasi dampak lingkungan. Pengabaian terhadap poin ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah pengembang merasa tak lagi terikat oleh rekomendasi lembaga legislatif daerah?
Jika pembangunan infrastruktur penting seperti pintu air dianggap bukan bagian dari kewajiban pengembang, maka siapa yang bertanggung jawab atas potensi kerusakan lingkungan di wilayah yang mereka kembangkan untuk keuntungan komersial?
Wawan turut mengklaim bahwa pihaknya telah membangun sejumlah tandon air di titik-titik strategis seperti kawasan dekat Asta, Terace 9, dan Palm Segar. Namun, klaim ini dibungkus dengan narasi “pembangunan bertahap dan fungsional”, tanpa kepastian waktu maupun dokumentasi yang bisa diverifikasi publik.
“Memang tidak bisa dibangun bersamaan, tapi yang dekat Asta, Terace 9 dan Palm Segar itu sudah kita buatkan,” ungkapnya.
Pernyataan ini, bukannya menenangkan, justru memperbesar rasa penasaran publik. Karena itu, tim investigasi media akan segera melakukan verifikasi lapangan ke lokasi-lokasi yang disebutkan. Bila fakta di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian dengan pernyataan yang disampaikan, maka patut dipertanyakan integritas pihak pengembang dalam menyampaikan informasi kepada publik dan pemangku kepentingan.
Lebih lanjut, saat ditanya mengenai status tanah pada jalan desa yang kini dilintasi oleh proyek Suvarna Sutera, Wawan menyatakan, “Kalau untuk status tanah kami tidak tahu, tapi sampai saat ini jalan tersebut masih digunakan.”
Sikap ini menimbulkan ironi tersendiri. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan pengembang berskala besar, yang tentunya memiliki tim legal dan tim teknis profesional, tidak mengetahui status hukum tanah yang mereka gunakan sebagai akses utama proyek? Apakah ini bentuk kelalaian administratif, pembiaran sistematis, atau justru manuver untuk menghindari tanggung jawab hukum dan sosial?
Sebagaimana diketahui, dokumen AMDAL bukan sekadar persyaratan legalitas, melainkan instrumen penting dalam memastikan bahwa pembangunan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan keresahan sosial. Rekomendasi DPRD Kabupaten Tangerang sejak Agustus 2022 telah memuat sejumlah poin strategis: revisi dokumen AMDAL, penyelesaian permasalahan Situ Warung Rebo, pembangunan pintu air, penambahan tandon air, sistem pembuangan, hingga penataan ulang median jalan.
Namun setelah dua tahun berlalu, tak terlihat jejak implementasi yang signifikan dari rekomendasi tersebut. Fakta ini menimbulkan dugaan kuat bahwa pengabaian ini bukan karena ketidaktahuan atau keterbatasan teknis, melainkan karena tidak adanya kemauan politik dan etika tanggung jawab.
Klarifikasi yang disampaikan pihak Suvarna Sutera sejauh ini belum menyentuh akar masalah. Ketidaktahuan yang terlalu mudah diucapkan, progres bertahap tanpa tenggat yang jelas, serta pembenaran yang dibungkus retorika teknis, justru mengesankan bahwa pengembang lebih fokus pada pengendalian persepsi daripada penyelesaian substansi.
Apakah ini sekadar upaya menenangkan gelombang kritik, atau bagian dari strategi komunikasi untuk mereduksi tekanan publik?
Dalam waktu dekat, tim awak media akan melakukan penelusuran menyeluruh terhadap lokasi-lokasi yang diklaim telah dibangun tandon air oleh pihak pengembang. Jika ditemukan bahwa pembangunan belum terealisasi sebagaimana yang dinyatakan, maka publik berhak menggugat kredibilitas pengembang serta mendorong lembaga pengawas seperti DLHK kabupaten Tangerang untuk bertindak.
Tak hanya itu, status hukum jalan desa yang dilalui proyek Suvarna Sutera juga akan menjadi fokus investigasi. Jika benar bahwa tanah tersebut belum melalui proses legalisasi, maka bukan hanya urusan administratif yang dilanggar, namun juga potensi pelanggaran hukum yang harus disikapi secara serius oleh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
(Rey)