Revisi AMDAL Suvarna Sutera: Tandon Air yang Hanya Ada di Atas Kertas, Pengembang Membusuk di Lapangan

Berita, Daerah, Peristiwa86 Dilihat

tintaindependen.com Tangerang – Dua tahun berlalu sejak DPRD Kabupaten Tangerang mengeluarkan rekomendasi revisi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk kawasan Suvarna Sutera. Namun alih-alih melihat pembenahan nyata di lapangan, publik justru disuguhi pemandangan muram: dokumen yang semestinya menjadi benteng pertahanan lingkungan hidup kini berubah menjadi sekadar dokumen kosmetik. Cantik di atas meja, busuk di lapangan.

Dalam pertemuan yang berlangsung Selasa (12/8/2025) di jantung kawasan Suvarna Sutera, Koordinator Pengembang, Wawan, menyampaikan klaim dengan penuh percaya diri bahwa pihaknya telah membangun sejumlah tandon air di titik-titik strategis seperti Terace 9, Palm Segar, dan kawasan Asta. Pernyataan ini, secara kasat mata, tampak sebagai bagian dari narasi besar pembangunan hijau. Namun di balik retorika manis itu, fakta berkata lain.

Tim investigasi media yang melakukan verifikasi langsung ke lokasi pada Rabu (13/8/2025) menemukan kebenaran yang memukul logika: nihil. Tak satu pun tandon air ditemukan. Tidak di Terace 9. Tidak di Palm Segar. Tidak pula di Asta. Yang tersisa hanyalah jejak kosong dari janji-janji pengembang yang tampaknya lebih lihai bermain narasi ketimbang membangun realitas.

Di Palm Segar, Ketua RW setempat, Edi, menyatakan tanpa tedeng aling-aling, “Kalau untuk tandon air, tidak ada. Yang ada hanya gudang air bersih.” Sebuah pengakuan yang sekaligus membantah klaim pihak pengembang secara telak.

Sementara di Terace 9, narasi keberadaan tandon di “ujung kawasan” pun terbongkar sebagai dusta. Petugas keamanan bernama Abidin di area tersebut dengan jujur mengakui, “Di sini tidak ada tandon air, Pak. Yang ada hanya pembangunan saluran pipa yang akan dialirkan ke kali.” Pernyataan ini menyibak realitas muram: tidak ada infrastruktur penampungan air hujan, yang ada hanyalah upaya mengalirkan air, atau bahkan limbah ke badan air umum tanpa proses penyaringan dan kontrol lingkungan yang layak.

Dan di kawasan Asta? Yang ditemukan bukan fasilitas, melainkan kehampaan. Tak ada bangunan. Tak ada struktur. Hanya ruang kosong tempat seharusnya tanggung jawab itu berdiri.

Lebih jauh, investigasi mengarah pada Situ Warung Rebo—situ milik Pemerintah Provinsi Banten. Di sinilah air dari klaster Lapon, bagian dari Suvarna Sutera, bermuara. Pekerja Juru situ, Sanwani, membenarkan adanya aliran dari kawasan tersebut. “Dari perumahan klaster Lapon Suvarna Sutera juga ada saluran yang mengalir ke sini,” ungkapnya.

Pertanyaannya: apakah pengembang swasta diperbolehkan membuang air limbah ke aset publik tanpa mekanisme yang jelas? Ke mana hilangnya prinsip konservasi? Di mana letak komitmen pada pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan?

Jika tandon air tak dibangun, namun air dialirkan ke situ milik pemerintah, ini bukan lagi sekadar kelalaian administratif. Ini adalah bentuk perampasan ruang publik yang dilakukan secara diam-diam—dengan penuh percaya diri.

Dan pelanggaran belum berhenti di situ. Jalan desa, aset publik yang semestinya menjadi jalur ekonomi dan akses warga, ikut dijarah untuk aktivitas proyek, tanpa izin yang jelas, tanpa kompensasi, tanpa etika. Jika benar, maka inilah wajah kolonialisme baru: ketika kapital mencengkeram ruang hidup rakyat, dibungkus dalam narasi “pembangunan”.

Rekomendasi revisi AMDAL yang dikeluarkan oleh DPRD Kabupaten Tangerang pada tahun 2022 kini ibarat janji manis di musim kampanye: terdengar megah, tapi tak berakar. Tak ada laporan tindak lanjut. Tak ada transparansi. Yang tersisa hanyalah aroma busuk dari pembiaran struktural yang disengaja.

Kini, publik bertanya-tanya: di mana suara DPRD? Akankah mereka berdiri sebagai penjaga kepentingan rakyat? Ataukah ikut tenggelam dalam kubangan kenyamanan politis dan lobi korporasi?

Pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Tangerang ketika dikonfirmasi hanya menjawab pendek melalui pesan WhatsApp. Mereka mengundang media hadir pada Selasa, 19 Agustus 2025 untuk klarifikasi. Sebuah panggung yang patut ditunggu—apakah akan lahir penegasan sikap, atau justru sekadar menjadi ajang cuci tangan?

Karena pada akhirnya, pembangunan bukan soal angka-angka dan laporan progres. Tapi tentang keberanian menjaga alam, melindungi publik, dan berkata benar meski tak nyaman.

Tim investigasi akan terus mengawal persoalan ini. Karena pembangunan sejati bukan tentang siapa yang paling banyak membangun, tapi siapa yang paling setia menjaga amanah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *