Terima Uang Rp 42 Juta Lurah PN Lolos dari Jeratan Hukum, Malah Jadi Angota DPRD Provinsi Banten?”

Berita, Daerah, Peristiwa173 Dilihat

tintaindependen.com Tangerang, – Dugaan praktik tebang pilih dalam penegakan hukum kembali menjadi sorotan publik, kali ini terjadi dalam penanganan kasus dugaan penggelapan dana oleh MARYADI Alias JOJON di wilayah hukum Polsek Panongan, Polresta Tangerang. Di tengah sorotan tersebut, mencuat satu pertanyaan besar: Mengapa Lurah PN yang saat ini menjadi Anggota DPRD Proinsi Banten, Jelas disebut dalam BAP sebagai penerima uang Rp. 42 juta, tidak tersentuh hukum?

Kasus ini berawal dari laporan AIDIL AMIN, warga Tangerang, yang menyerahkan uang sebesar Rp100 juta kepada Maryadi untuk pengurusan surat tanah. Dalam prosesnya, Maryadi mengalirkan sebagian uang tersebut, sejumlah Rp. 42 juta, kepada Lurah PN, yang kala itu disebut sebagai pejabat yang akan membantu kelancaran pengurusan surat. Namun faktanya, Akta Jula Beli tanah tak kunjung terbit, uang pun raib, Kamis(17/7/2025).

Maryadi kini telah diseret ke pengadilan dan diproses secara hukum atas dugaan penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP. Namun yang menjadi kejanggalan serius, nama Lurah PN tercantum secara eksplisit dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai penerima uang, namun tidak pernah dipanggil sebagai saksi, apalagi sebagai tersangka.

Fakta bahwa Pinan kini menjabat sebagai yang saat ini menjadi Anggota DPRD Provinsi Banten justru semakin menguatkan kecurigaan publik adanya “TAMENG POLITIK” terhadap proses hukum.

Padahal jika merujuk pada asas legalitas dan prinsip equality before the law, siapapun yang diduga menerima bagian dari uang hasil tindak pidana, atau turut serta dalam perencanaan dan pelaksanaannya, wajib diperiksa secara hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yang menyatakan bahwa setiap orang yang turut serta dalam perbuatan pidana atau memberi bantuan, dapat dipidana. Lantas, mengapa Lurah PN seolah kebal hukum?

Tim redaksi telah mencoba mengonfirmasi ke berbagai pihak, namun upaya klarifikasi seperti menemui jalan buntu. Kanit lama yang menangani perkara, Irruandy Aritonang, S.H, saat dikonfirmasi tidak menjawab panggilan maupun pesan. Sementara itu, penyidik Agung Widodo, disebut telah dipindah tugaskan ke Jawa Timur dan belum digantikan sampai saat ini.

Kanit Reskrim baru, IPDA Muhdiawan, saat dikonfirmasi melalui WhatsApp menyatakan bahwa berkas telah P21 dan sedang disidangkan, namun ia mengaku tidak tahu detail perkara karena baru bertugas.

“Sudah P21, sudah sidang juga. Kalau soal detailnya saya kurang tahu bang, penyidiknya juga udah pindah ke Jawa Timur,” jawabnya singkat.

Maka timbul pertanyaan tajam: Apakah proses hukum memang sengaja diarahkan hanya kepada Maryadi dan ‘mengamankan’ Lurah PN yang punya posisi strategis di partai besar?

Kondisi ini berpotensi menjadi cermin nyata dari impunitas politik, di mana pejabat atau elite tertentu tampaknya bisa lolos dari jerat hukum meski fakta-fakta menunjukkan dugaan kuat keterlibatan mereka.

Ini bukan sekadar soal penggelapan uang dan pengurusan surat tanah. Ini adalah indikasi nyata bahwa hukum tidak bekerja setara. Bila aparat hukum membiarkan seorang pejabat aktif yang menerima Rp. 42 juta tanpa proses hukum apa pun, maka yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar keadilan individual, tapi legitimasi hukum itu sendiri di mata publik.

Tim Redaksi mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polresta Tangerang dan Kejaksaan Negeri, untuk:

1. Membuka kembali penyelidikan terhadap peran Lurah PN, dengan memanggil dan memeriksa dirinya sebagai saksi atau calon tersangka.

2. Mengusut apakah terjadi intervensi politik dalam proses hukum ini.

3. Menegakkan Pasal 55 dan 56 KUHP sebagai bagian dari prinsip pidana yang adil dan menyeluruh.
Jika hukum hanya bekerja terhadap rakyat kecil dan menutup mata terhadap elite politik, maka kita tengah menyaksikan kematian prinsip keadilan.

Redaksi tintaindependen.com akan terus mengawal dan membongkar skandal ini, demi menjaga kepercayaan publik bahwa hukum masih bisa menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *